Selasa, 29 September 2009

DEVISA; baca,sadari,ubah

Sering banget dong kita denger istilah devisa. Bagi orang yg berkecimpung di ekonomi pasti ngerti banget A to Z about devisa. Tapi buat aku-yang-sekeluarganya-ekonomi-tapi-akunya-gak-ngerti-ekonomi sejujurnya ga ngerti-ngerti banget ttg devisa itu. Pas lagi blogwalking, nemu blog ttg devisa (suamigila.com). Jadi ngerti deh.

*
*
*

Devisa adalah salah satu faktor yang penting (kalo gak yang terpenting) bagi sebuah negara. Devisa yang kasus kita memakai USD, quite simply bisa dianalogikan sebagai semua tabungan yang sang ayah miliki dalam sebuah keluarga.

Ketika si anak sakit, sang ayah menjebol tabungannya untuk belanja obat. Ketika atap bocor, si ayah keluarkan tabungannya untuk benerin atap.

Ketika anaknya pengen sekolah, ayah bayar SPPnya pake devisa.

Dari mana ayah dapat devisanya? Ada banyak caranya.

Ayah A, menanam kopi di kebunnya dan di depan rumah bikin gerai kopi. Dia jual capuccino mahal. Untung besar setelah rugi sedikit dari bikin gerai kopinya. Sekalian dia nanem sayur dan piara dan buka gerai burger. Di kebunnya juga ada kayu jati. Di garasi dia bikin mainan kayu dan dia jual mahal mainan itu. Ayah 1 ini menjual barang jadi.

Yaitu harga jual = modal + bahan mentah + keahliannya.

Ayah B, punya hal yang sama. Dia punya kebun kopi, sapi dan hutan kayu. Tapi dia jual panen biji kopinya. Dia jual panen sayur dan sapinya. Dia jualin kayunya. Tentunya karena semuanya bahan mentah, harga jualmya gak seberapa.

Yaitu harga jual = bahan mentah.

Misalnya : Ayah B jual biji kopi 500 perak 1 kilo ke ayah A. Di mana 1 kilo bisa bikin 100 cangkir. Ayah B kemudian haus dan beli kopi ke ayah A. Harga 1 cangkir 200.

Nah, kebayangkan kan betapa ayah A makin kaya, sedangkan ayah B makin miskin tiap harinya?

Betapa tiap harinya, devisa ayah B makin menipis sedangkan devisa ayah A makin meningkat.

Ayah B adalah Indonesia dan ayah A adalah negara maju.

Kita sebagai rakyat Indonesia gak bisa menghalangi free trading atau gak bisa menghalangi global commerce. tapi setiap barang impor yang kita beli, sebagian dari duit itu pergi ke negara lain.

Ayah kita adalah negara kita. Dia memegang devisa dalam USD. Kita sebagai rakyat memegang IDR. Sejatinya, kita sebenernya tidak memiliki USD kita secara personal. Maksudnya gini.

kasus 1:

Elo eksport biji kopi, laku USD 1000. kemudian, lu pengen beli motor. USD 1000 lu itu ada di tangan lu, tapi sebenernya itu devisa milik negara. Ini karena setelah lu ekspor kopi, lu gak mungkin memakai USD untuk beli motor kan? makanya lu pasti tukerin USD 1000 ke negara ke rupiah, barulah beli motor.

Di kasus ini, berkat elu, devisa negara bertambah USD 1000. Sebagai tukarannya, negara memberikan elu rupiah 10 juta untuk lu pake.


Kasus 2:

gue menghabiskan 2 juta per bulan beli kopi enak asal (katakanlah perancis) bernama Bax. Enak banget. Yang gue gak sadar adalah, dari 2 juta rupiah itu, katakanlah 1 juta (USD 100) diambil oleh manajemen Bax balik ke negaranya. Apakah negara itu mengambil 1 juta rupiah? gak lah, mana laku rupiah di negara dia. Untuk mengambil 1 juta rupiah itu, Bax tukar 1 jutanya ke negara Indonesia dan dengan terpaksa negara memberikan Bax USD 100. Abis itu, Bax bawa USD 100 itu balik ke negaranya. Di negaranya, USD juga gak laku. Yang laku Euro. Makanya sesampai di Perancis, dia tukarkan USD 100 itu ke euro.

Hasil:

1. Gue bokek 2 juta.
2. Negara berkurang devidanya USD 100.
3. Perancis bertambah kaya USD 100.
4. Bax tambah kaya karena dapet Euro itu.

Dari sini keliatan ada dua bahaya:
1. Indonesia adalah pengekspor bahan mentah. yang mana harganya murah.
2. Indonesia juga mengonsumsi barang jadi yang mahal harganya.

Intinya, di kala petani kita ekspor biji kopi dan garmen, mereka dapet paling cuman USD 1 juta dan menjadi devisa negara. Tapi berapa banyak orang kota minum kopi? beli baju branded? beli sepatu import? konsumsi barang impor kita bisa menggerus devisa yang petani udah susah payah kumpulkan untuk negara.

Kalo kita pengen maju, negara harus punya uangnya/devisanya. Kita komplen pendidikan gak maju. Pemerintah akan meningkatkan pendidikan kalo ada devisa untuk bangun sekolah, lab, etc. Dari mana devisanya? harus lebih banyak orang Indonesia yang buka gerai seperti Bax itu. Di mana saking kerennya, kita yang buka cabang di negara mereka dan menyedot devisa mereka menjadi devisa negara kita.

Intinya apa coba? Kita lah yang harus mulai.

1. Beli produk lokal agar
- devisa negara tidak tergerus.
- murah
- mengurangi pengangguran.

2. Bikin usaha lokal yang menginternasional agar
- bisa ambil devisa negara lain untuk negara kita.
- jadi kaya
- juga menyerap tenaga kerja

Kalo Indonesia miskin, jangan gampang salahin pemerintah. Kita liat dulu pola konsumsi kita. gue gak bilang untuk boikot produk impor. Gue juga gak bilang kita harus pakai 100% produk lokal karena jujur aja, bikin mobil dan lainnya kita belum bisa.

Tapi yang penting ini: gua gak berhak ngatur orang bagaimana mereka harus berkonsumsi. tapi kita semua bisa memilih 1 dari 2 hal:
1. Pola konsumsi yang menggerus devisa negara?
2. Pola konsumsi yang tidak menggerus devisa negara?
dan ingat, devisa negara lah yang membangun subway. Devisa negara lah yang membangun jembatan dan jalan.

Jadi, gue personally, gak akan maki-maki kenapa jakarta gak mampu bikin subway, kalo gue lagi kejebak macet sambil minum kopi brand import.

*
*
*

Sekarang yuk kita tilik barang sehari-hari kita.
Merk tas kita?
Merk baju, celana, sepatu kita?

mau pakai merk apa aja itu emang hak kita, sebagai anak muda mungkin branded jadi salah satu hal penting (penulis-udah-ga-muda), atau mungkin faktor kualitas yg kebanyakan orang mikir klo produk dari luar tu bagus n tahan lama. Padahal ya gak juga.

Ur country, ur choice.












(hehehe, gambarnya makanan semua. penulis-suka-makan)

Tidak ada komentar: